TANJUNGPINANG

Parade Puisi Kemerdekaan

Oleh : Robby Patria

Kata mantan Presiden Amerika Serikat Jhon F Kennedy, jika politik kotor, puisi akan membersihkannya. Memang politik sudah sangat kotor dan merusak di negeri ini.

Korupsi, seperti jadi imperialisme baru setelah 80 kita merdeka. Makanya kita terus menjadi bangsa dengan 61 persen rakyatnya miskin kata Bank Dunia.

Kita tak menemukan lagi pejabat sederhana, berintegritas model Muhammad Hatta, Hoegeng dan diplomat handal seperti Agus Salim. Entah kapan manusia seperti ini hadir lagi di pangkuan ibu pertiwi.

Dua hari menjelang hari bersejarah Indonesia, Hari Kemerdekaan, 24 anak bangsa yang terdiri dari penyair, dosen, politisi, siswa, pejabat hingga mantan walikota, wakil bupati ikut serta menggelorakan membakar semangat bahwa puisi masih ada di negeri Segantang Lada. Negeri yang baru bergabung ke Indonesia tahun 1949.

Di monumen Proklamasi, tanda Riow ke NKRI, di sana pekik suara lantang menembus dinginnya malam. Membakar semangat untuk menjaga Indonesia lebih hebat setelah 80 tahun merdeka. Udara yang sejuk malam itu seperti tak kuasa menembus kulit karena dibakar api semangat menyambut kemerdekaan.

Beberapa jam sebelum parade puisi, tak jauh dari banjir melanda kota tua Tanjungpinang.

Jantung perekonomian daerah yang kini hidup segan mati tak mau. Puluhan miliar duit rakyat digelontorkan, tapi tak sanggup mengembalikan fungsi pasar di era tahun sebelum Reformasi yang jadi hub perdagangan antara daerah pulau di Kepulauan Riau.

Ya, empat tahun setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan, baru Riow yang kini bernama Kepulauan Riau memutuskan berada satu barisan dengan Jakarta. Sebelumnya warga Kepulauan Riau terbiasa dengan mata uang dollar, juga dipakai tetangga Singapura.

Pembaca puisi pertama tadi malam adalah tokoh senior Rida K Liamsi. Usianya tak muda lagi. Lebih tua dari Indonesia merdeka itu membaca puisinya sendiri yang telah tercetak beberapa tahun lalu.

Pak RDK kami memanggil, bos besar, Raja Koran Sumatera di mana saya dulu pernah menimba ilmu Jurnalistik beberapa tahun sebelum akhirnya menjadi pengajar di Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Setelah sastrawan senior itu, muncul tiga anak muda yang masih SMA seperti Nabila Akhyar bersama kawannya sebaya. Ketiganya membaca dengan baik.

Artinya guru-guru Bahasa Indonesia di sekolah dengan baik mengajarkan sastra di sekolah ketika kurikulum pendidikan pun silih berganti dan berubah ubah menyesuaikan pergantian menteri. Kurikulum sering berubah menyebabkan guru akan bingung menerapkan proses pembelajaran di kelas.

Sayangnya tadi malam tak ada mahasiswa membaca puisi. Paling muda setelah remaja SMA itu membaca puisi generasi Zainal Takdir, Muhammad Febri, Sabri, Irwanto.

Tak ketinggalan mantan Walikota Tanjungpinang selama 17 tahun yakni Suryatati A Manan. Bu Tatik biasa disapa membaca puisi yang dia karang beberapa jam sebelum dia bacakan malam itu.

“Puisi Bu Tatik ternyata lebih berani dari kita,” sebut Husnizar yang malam itu menjadi host. Dia tak membaca puisi karena memang tak ada panitia khusus. Acara dibuat dadakan. “Kita beda kelas,” kata Nizar bercanda.

Bang Husnizar sebagai Ketua Perhimpunan Penulis Kepulauan Riau mengatur acara. Sekaligus menelpon walikota Tanjungpinang untuk difasilitasi pembesar suara agar lekingan suara terdengar membahana di pusat Tanjungpinang yang saat ini banyak warganya bunuh diri.

Sepanduk acara ditanggung Pak RDK. Kursi saya kurang paham disewa oleh siapa. Dengan persiapan acara tanpa dana tersedia, acara Parade Puisi tak kehilangan maknanya.

Mereka membaca puisi malam itu adalah tokoh tokoh mencintai puisi dengan sepenuh hati. Mereka tak ingin puisi mati. Walaupun efesiensi di pemerintahan ini, puisi tak boleh mati. Iya laksana bintang di gelap malam terus bersinar.

Kadang berperan seperti bintang utara. Jadi petunjuk untuk pelayaran sebelum ada GPS dipakai para nakhoda.

Bayangkan jika harus membayar honor pembaca puisi yang berjumlah 24 orang. Setidaknya harus siapkan duit 100 juta. Tapi malam itu semua free.

Hanya puisi yang bisa gratis. Kalau mau merebut kekuasaan, walaupun tak pandai memimpin perlu materi tebal.

No free lunch, biasa dalam politik. Tapi kata kata sindiran tak tepat untuk membaca puisi.

Mereka rela berkorban sedikit harta dan waktu untuk membaca puisi. Itulah pengaruh magis kekuatan kata kata.

Jika tak percaya, lihat saja puisi-puisi karya Langston Hughes dalam gerakan Harlem Renaissance menggambarkan perjuangan dan harapan masyarakat kulit hitam di Amerika.

Puisi memberikan wawasan tentang kondisi sosial dan politik pada suatu waktu tertentu, menjadi saksi bisu dari peristiwa bersejarah besar.

Lalu kekuatan puisi “The Road Not Taken” karya Robert Frost, pembaca diajak untuk merenungkan pilihan hidup dan konsekuensinya.

Dengan menyentuh perasaan pembaca, puisi dapat membangkitkan empati dan pemahaman yang lebih dalam terhadap pengalaman orang lain (Why Poetry Matters).

Mereka hadir meluangkan waktu istirahatnya membaca puisi dengan serius. Ekspresi mendalam. Menghayati setiap bait bait puisi keluar dari mulut dengan suara menggelar.

Tangan tangan mereka menunjuk langit. Kadang mendekap dada. Sampai terduduk membawa pelite seperti diekspresikan Wan Syamsi. Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Tanjungpinang.

Namun ada juga lupa menjadi marketing produk sendiri seperti penyair Tarmizi Rumah Hitam. Penyair lintas negara itu selalu memakai membawa tanjak, dan baju khas melayu ketika tampil di panggung di Indonesia maupun panggung puisi antara negara. Ya, Tarmizi selain berpuisi juga ahli mengasah batu, membuat tanjak dan perlengkapan baju melayu.

“Berjualan itulah pendapatan saya,” katanya ketika kami pernah satu kamar ketika diundang Persatuan Penulis Johor di Mei 2025.

Tarmizi ke Tanjungpinang membawa mobil sendiri dari Batam. Selain Tarmizi, ada tiga penyair perempuan hadir langsung dari Batam. Saya sempat berkata kepada perwakilan Batam itu,” Walikota Batam itu katanya penyair. Buatlah baca puisi di sana. Nanti undang penyair Tanjungpinang baca puisi di Batam”.

Setelah Tarmizi, mantan Wakil Bupati Bintan Mastur Taher menaikkan irama membaca puisi. Di usia 58 tahun, Mastur seperti anak anak muda.

Mungkin dia ingin mengembalikan kejayaan usia muda saat menuntut ilmu di IKIP Jakarta yang kini berganti bernama Universitas Negeri Jakarta.

Rambut boleh memutih, namun vocal masih cukup membuat mikropon menjerit. Itulah Mastur Taher.

Ketika tak lagi menjadi pejabat tinggi daerah, dia biasa biasa saja. Rutinitasnya kini sibuk menjadi host di Radio Pandawa sambil berdakwah. Jarang menemukan eks wakil bupati yang sederhana seperti Mastur. Ke mana mana naik sepeda motor Vario hitam.

Penonton dikejutkan dengan munculnya Priyo Handoko. Anggota Komisi Pemilihan Umum Kepulauan Riau. Mengawali puisinya membacakan semua makanan makanan khas Melayu.

Mulai dari lendot, prata, mie lendir hingga nasi lemak. Rupanya banyak kawan kawan perjuangan di masa Reformasi belum kembali. Jika kembali ajaklah makan makan enak tersebut.

Dan akhirnya Parade Puisi ditutup salah satu deklarator Hari Puisi Indonesia yang baru ditetapkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Abdul Kadir Ibrahim membacakan puisi karangan sendiri bertemakan perjuangan. Dengan gaya khasnya, Akib menutup pentas dengan sempurna.

Saya selalu Sekretaris Perhimpunan Penulis Kepri berharap setiap bulan kita bisa tampil membaca puisi tanpa atau ada bantuan pemerintah. Oh ya, Kita urunan nanti ya kalau pemerintah sudah mati rasa.

Tadi malam saya membaca puisi Huesca karya John Cornford yang ditulis 1948. Lalu diterjemahkan Chairil Anwar. *

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *