Ladang yang Tak Lagi Tersenyum Ketika Petani Cabai Gagal Panen dan Harapan Hilang

TANJUNGPINANG, katasiber – Angin pagi yang biasanya membawa semangat, kini terasa hambar di ladang cabai milik kelompok tani (Poktan) Harapan Jaya, Dompak, Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Daun-daun cabai tak sehat, bahkan satu per satu gugur, bunganya rontok sebelum ”lahir buah cabainya” ada calon buah itupun rontok sebelum sempat dipanen.
Di sudut pondok kebunnya, ketua Poktan Harapan Jaya, Katimun, duduk termenung. Matanya sayu, memandang tanaman yang tak lagi memberi harapan.
Padahal, selama ini tanaman cabainya, selalu sehat dan berhasil panen hingga finis.
Tapi, entah kenapa, pada saat Poktan Harapan Jaya, menanam lebih dari 7 ribu batang, bagaimana perasaan ia saat melihat tanamannya, hancur karena cuaca ekstrem, kadang panas, kadang hujan, membuat tanamannya”panas dingin” tidak sehat.
Resep, ilmu dan pupuk yang dibutuhkan oleh tanaman cabai, sudah diberikan. Termasuk pupuk NPK, pupuk organik lainnya.
Bahkan, pupuk yang diberikan tergolong ‘super lengkap” tapi, rezeki belum berpihak.
Katimun, boleh dikatakan cukup senior dalam hal menanam cabai keriting merah. Selama ini, tak pernah gagal panen.
Bayangkan, betapa sedihnya, karena telah menanam 7 ribu batang cabai, sudah menghabiskan puluhan juta, hanya bisa di panen 19 kilo saja. Itupun panen hijau, tak bisa cabainya dimerahkan.
Untuk mengetahui, kenapa kali ini tanamnya, tidak sehat, tidak tumbuh subur, daun dan bunga rontok, sebelum menjadi buah.
Ia selalu berkoordinasi dengan penyuluh pertanian Pemko Tanjungpinang dan Pemprov Kepri. Penyuluh kedua instansi itu, turun langsung ke lokasi, silih berganti, mengamati perkembangan atau pertumbuhan cabainya.
Semua saran, baik tim penyuluh dari Dinas Pertanian Kota Tanjungpinang dan Dinas Pertanian Pemprov Kepri, sudah dilaksanakan.
Namun, rezeki kali ini belum berpihak kepada petani. Semua ilmu yang dimiliki para master pertanian Pemprov Kepri dan Pemko Tanjungpinang, tidak mampu menyelematkan tanaman cabainya.
Setelah dianalisa, berdiskusi dengan petani tersebut, timbul analisa sementara, penyebab tanaman cabai mereka tidak berkembang subur, hanya ketinggalan satu resep. Serep itu, lupa digunakan untuk meningkatkan kesuburan unsur hara di dalam tanaman. Resep itu, hanya lupa menaburkan dolomit, atau kapur pertanian.
“Semua sudah habis, Pak… modal puluhan juta lenyap begitu saja, hanya satu resep yang terlupa, lupa menambah kapur sebelum bedeng tanaman ditutup,” ucapnya lirih, menahan perih yang lebih dalam dari sekadar kerugian uang.
Sambungnya, cuaca ekstrem sejak mulai semai cabai hingga umur 40 hari setelah tanam (HST), hujan dan panas yang datang tak menentu, serangan hama seperti trips dan tungau yang sulit dikendalikan, hingga mahalnya harga pupuk dan pestisida membuat mereka tak berdaya. Harapan akan untung justru berubah menjadi utang.
Pak Ketimun, meminjam modal dari sana ke sini, sesama petani yang memiliki modal lebih, termasuk ke keluarganya sendiri, berharap dari hasil panen bisa membayar dan menyisakan untuk kebutuhan keluarga.
Namun kini, jangankan untung, untuk makan sehari-hari saja ia harus berpikir panjang.
“Belum rezekinya pak. Mau mengadu ke siapa? Pemerintah sudah menurunkan timnya ke lokasi, kami ini rakyat kecil, petani, bukan orang yang bisa bersuara lantang, syukuri saja, semoga tanaman berikutnya, bisa memberikan yang terbaik, ” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Ia berharap, program bantuan pertanian dar pemerintah, baiknya mulai juga disalurkan obat-obatan untuk hama. Selama ini, bantuan sudah banyak, termasuk pupuk subsidi dan sarana pertanian lainnya.
Tapi, ia berharap pemerintah juga memberikan bantuan untuk obat hama.
Di tengah dunia yang terus bergerak, kisah Pak Katimun dan petani lain seperti putus asa,padahal, dari tangan-tangan merekalah kebutuhan dapur masyarakat terpenuhi.
Mereka yang berpanas-panasan di ladang, kini justru merasakan dinginnya ketidak pastian cuaca.
Kini, Pak Katimun hanya berharap ada pihak yang benar-benar melihat dan peduli.
Bukan sekadar datang saat panen melimpah untuk berfoto, tetapi hadir saat tanah ini menangis.
“Kami tidak minta banyak. Cukup diperhatikan, dibimbing, dibantu saat susah, itu saja sudah cukup,” ujarnya.
Meskipun gagal panen, saat ini Katimun mulai bangkit lagi dan mulai semangat lagi, meskipun kadang, ia tetap sedih dan gelisa.
Baginya, petani yang benar-benar petani, hasil dari kebunnya, untuk menutupi kebutuhan keluarganya, tidak ada pekerjaan lainnya, baginya harus sabar dan kuat, menghadapi gagal panen atau gagal harga saat panen.
”Kita ini petani, tak ada pekerjaan lainnya. Harus sabar menghadap gagal panen, meskipun menyakitkan, dan juga harus sabar saat harga cabai anjlok,” paparnya.(*)