OPINI

Mencari Obat Kerinduan di Dialog Selat Tebrau

Robby Patria,
Peserta dialog Selat Tebrau

Imam Al-Ghazali memberikan definisi bahwa rindu adalah konsekuensi dari adanya mahabbah (cinta) terhadap suatu objek. Dengan cinta, rindu akan datang dengan sendirinya. Rindu sendiri merupakan sesuatu yang sifatnya emosional tinggi untuk bisa bertemu dengan orang yang dirindukan.

Ketika rindu itu tak ada obatnya, maka Rindu akan menjadi penyakit yang bisa menggerogoti anggota tubuh. Bagaimana Coleoptera menjadi sosok yang dirindukan oleh Julius Caesar dengan rasa cinta yang tak ada obatnya selain berjumpa.

Guna menjawab kerinduan akan kejayaan kesustraan Kerajaan masa lalu, bermula dari Bentan, 22 orang budayawan Kepulauan Riau diundang berkunjung ke acara dialog Selat Tebrau yang berlangsung di Johor, 23-25 Mei 2024.

Tim budayawan Kepulauan Riau dipimpin oleh tokoh masyarakat Kepri Huzrin Hood. Selain itu ada budayawan nasional Rida K Liamsi, budayawan Husnizar Hood, akademisi UMRAH Abdul Malik, pendiri Sanggar Sanggam Pepy Chandra. Penyair nasional Ramon Damora, Tarmizi, Rendra Setyadiharja, Abdul Kadir Ibrahim. Ada juga dosen UMRAH Robby Patria, penyair Irwanto, Syafaruddin, Alang, Isnaini Leo Santy, Azizah, Suryanti, Neng, Nasir Tahar, dan Ainun Ahmad.

Mengapa dialog yang digelar Persatuan Penulis Johor (PPJ) yang disokong Kerajaan Johor iri diberi nama Dialog Selat Tebrau? Karena juga menjawab soal kerinduan kemajuan Selat Tablau yang membelah Singapura dan Johor, Malaysia.

Dulu Johor, Singapura dan Kepri adalah satu saudara dengan pemimpin yang sama yakni bermula dari Sangsa Purba mendirikan kerajaan Bentan di Pulau Bintan. Hingga Nila Utama mendirikan Tumasek, yang kini menjadi Singapura di tahun 1299.

Dari Tumasek, bergeser ke Malaka. Dari Malaka diserang Portugis, berdiri pula kerajaan Johor, hingga Sultan Johor ke 7 Sultan Abdullah Muahaiyat Syah wafat di Tambelan 1623 ketika mengundurkan diri dari kepungan Iskandar Muda, Aceh.

Dari Tambelan perjalanan kerajaan Johor tidak berkahir hingga pindah ke Tanjung Pinang, Lingga hingga Belanda dan Inggris membagi dua wilayah jajahan sehingga Kepulauan Riau dan Johor menjadi terpisah. Johor, Malaysia masuk jajahan Inggris, dan Kepri masuk jajahan Belanda ssmpai sisa kerajaan Riau Lingga bena benar bubar oleh pemerintah kolonial Belanda (Syarikat Hindia Belanda) pada 10 Februari 1911.

Dipenghujung Dialog Selat Tebrau, Ketua Persatuan Penulis Johor Amiruddin bin Md Ali membacakan tujuh resolusi agar kerinduan kecermelangan kesustraan zaman dulu kembali bangkit. Kedua wilayah serumpun memang terpisah oleh geopolitik, tapi tidak terpisah oleh budaya.

Baik kuliner, adat istiadat, tidak ada perbedaan. Yang sangat kentara, Johor jauh lebih maju meninggalkan Kepulauan Riau secara ekonomi.

Resolusi Selat Tebrau seperti memanggil kembali semangat untuk kembali mengangkat kejayaan sastra dua negeri yang berbeda tersebut. Dan acara akan rutin dibuat di dua negara. Jika kegiatan pertama digelar 2025 di Johor, maka para penulis Kepulauan Riau merencanakan akan mengadakan di Pulau Bintan.

Misalnya menarik adalah keinginan bagaimana para penulis dua negara dihargai oleh masing masing pemerintah. Karena sejauh ini yang dirasakan oleh para penulis sastra di Kepri, perhatian pemerintah, khalayak tidak terlali menghargai produk produk karya sastra untuk menghidupkan si penulis.

Belum banyak yang mendapatkan nilai ekonomi dari penerbitan buku. Memang ada penulis penulis sukses Indonesia seperti Andre Hirata, Dee Lestari, Asman Nadia, cuma itu hanya beberapa orang. Selain dari nama nama itu, akto aktor yang aktif menjaga kebudayaan agar tetap lestari tidaklah hidup makmur seperti para pejabat maupun politisi.

Yang membedakan keberpihakan pemerintah Kerajaan Johor dengan terhadap pelaku kebudayaan adalah dukungan. Pemerintah Malaysia memberikan dukungan yang maksimal terhadap pelaku pelaku budaya dan penulis.

Terlihat dari banyaknya kegiatan yang dibuat oleh PPJ. Dan sangat berbeda dengan kebijakan dukungan anggaran di pemerintahan Kepulauan Riau hingga pemerintah tingkat duanya terutama bidang kesastraan.

Kebudayaan di negeri Jiran memang menjadi daya tarik. Masuk saja kita ke mall Angsana, Johor, maka kita akan mendapatkan pelbagai jenis baju kurung Melayu dengan pelbagai model. Begitu juga dengan kuliner. Mulai dari lakse, lempeng sagu hingga teh tarik tersedia.

Malaysia tahu, kebudayaan adalah aset besar yang mereka pasarkan dengan maksimal untuk menarik pelancung. Sementara kita masih menjadikan budaya nilai jual untuk kampanye politik saat pemilihan kepala daerah. Setelah terpilih, kita hanya memakai baju kurung setiap Jumat. Tak banyak kegiatan kebudayaan yang dapat diperbuat.

Dampaknya mulai terlihat. Anak anak muda Melayu mulai tak tahu dengan nilai nilai tunjuk ajar Melayu dan memperaktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kita mulai jarang melihat pertandingan Gurindam antar sekolah, pertandingan puisi antara remaja, pertandingan zapin, pertandingan menari, dan kompetisi kegiatan kebudayaan lainnya.

Kita musti belajar dengan Bali dan Yogyakarta yang menjadikan kekayaan budaya mereka menjadi pembeda dengan daerah lain di Indonesia. Dan itu ternyata berhasil. Banyak dampak positif yang muncul di tengah industri kreatif kebudayaan yang bersinergi bersama pariwisata.

Dan pertanyaan besarnya, kapan Kepulauan Riau bisa menjadikan kekayaan budaya menjadi prioritas dalam kehidupan bernegara sehingga pelaku pelaku budaya masih terus bangga untuk berproduksi, berkenian, pentas rutin hingga menjadi menarik bagi bidang pariwisata?

Tak ada yang tahu. Dialog Selat Tebrau pelan pelan namun pasti membangkitkan barang terendam itu. Membangkitkan dan mengobati sedikit kerinduan akan kejayaan lampau yang kini jadi catatan sejarah. *

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *