Inilah Pandangan Para Ahli Saat Diskusi Hari Marwah Kepri

TANJUNGPINANG – Yayasan Badan Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR) Kepri menggelar diskusi refleksi pembangunan Kepri, di Ballroom Asrama Haji Tanjungpinang, Kamis (15/5/2025). Kegiatan sempena Peringatan Hari Marwah Kepri ke-23 tahun 2025 ini menghadirkan enam pakar.
Mereka terdiri sejarawan Kepri Prof Abdul Malik, Dosen UMRAH Robby Patria SSos MSi, Ketua Ikatan Forum Doktor Kepri, DR Khodijah Ismail MSi, Kepala Biro Akademik, Perencaaan, Kemahasiswaan dan Kerjasama UMRAH, Ary Satia Dharma S Sos MSi serta pelaku usaha Alpan Suhairi.
Diskusi dipandu Pemerhati Sosial Kemasyarakatan Chaidar Rahmat dan Ketua Serikat Media Syber Indonesia (SMSI) Tanjungpinang Devi Yanti Nur SP ini terlihat mendapat sambutan hangat.
Karena banyak undangan yang hadir menyalurkan aspirasi dan harapan agar proses pembangunan daerah mengacu kepentingan warga luas.
Sebelum sesi tanya jawab, masing-masing pembicara menelorkan pemikiran masing-masing. Khodijah Ismail menyebut data perkembangan indokator pembangunan daerah Kepri, menyimpulkan Penerimaan Asli Daerah (PAD) Kepri capai 210 persen, dan Penerimaan Pajak capai 210 persen.
“Sungguh capaian yang sangat luar biasa,” kata Khadijah.
Wanita yang sehari-hari mengabdi di UMRAH ini sedikit menyindir, apakah pemasukan daerah yang luar biasa ini telah dirasaakan masyarakat lokal atau kelas bawah?
Karena, dari hasil temuannya di lapangan, sangat banyak masyarakat lokal yang tinggal di pulau-pulau terpencil, sama sekali belum terjamah pembangunan.
Tidak saja masyarakat lokal belum mencicipi pembangunan, temuan lain juga tertuju pengelolaan lahan. Hasil pantauannya, khodijah mengklaim banyak lahan di pulau kecil mau pun terpencil, telah banyak dikuasai investor asing. Lahan ini sama sekali tidak bisa dimanfaatkan oleh warga setempat.
Saat ini, kita jangan terus mempersoalkan sedikitnya wilayah daratan dibanding lautan. Meski wilayah daratan Kepri hanya seluas 4 persen, bukan berarti wilayahnya sedikit.
Wilayah daratan Kepri saat ini masih banyak belum tergarap atau termanfaatkan. Apalagi masuk pula pihak asing yang menguasai beberapa wilayah daratan tersebut.
“Ini harus kita sikapi secara tegas. Kita harus mampu membatasi jangan sampai investor asing menguasai lahan Kepri terutama yang ada di wilayah pulau kecil. Harapan tentunya tertuju aparat polisi, TNI, Pemerintah daerah mau pun Lembaga pemerintah lainnya,” pinta Khadijah.
Pembicara lainnya, Robby Patria mengatakan tingkat gini rasio Kepri paling rendah. Pengeluaran warga Kepri yang hidup di garis kemiskinan lebih sedikit dari warga kaya.
Pengangguran Kepri sangat tinggi.
Hal ini berbanding terbalik saat Kepri masih bergabung dengan provinsi Riau. Ini harus disikapi Pemerintah Provinsi Kepri.
Jika dibandingkan dengan Provinsi Bangka Belitung (Babel) yang jauh lebih rendah ketersediaan Sumber Daya Alam (SDA-nya), Robby menilai Babel jauh lebih bagus dari Kepri.
“Apa hebatnya Babel? tapi kok kita jauh lebih rendah rasio pertumbuhan ekonomi dari mereka. Dimana letak kesalahannya? Kita harus merenungi bersama. Rakyat yang salah atau aparatur pemerintahannya,” kata mantan wartawan ini.
APBD Kepri tahun 2025 sekitar Rp3,7 triluan, Sebagian besar lari ke Kota Batam. Tidak mengherankan, pembangunan Batam jauh lebih berkembang dari daerah lainnya.
Padahal, APBD Kota Batam sangat besar. Jika melihat kondisi ini, Robby menyimpulkan jika Batam menjadi provinsi baru, bisa dibayangkan Kepri menjadi provinsi paling bawah.
Setidaknya, kondisi ini harus dipahami Pemerintah provinsi Kepri. Caranya dengan memperhatikan pembangunan daerah di luar Batam.
“Batam sudah mampu membangun bersumber APBD mereka. Porsi APBD Kepri seyogyanya jangan besar lagi buat Batam. Berikan ke daerah lainnya,” tuturnya.
Pembicara Ary Satia Dharma mengatakan bahwa ketahanan pangan adalah salah satu strategis pembangunan yang meski difokuskan, sebab kenaikan harga pangan terkadang impor dari luar provinsi bahkan negara tetangga memicu inflasi, dan untuk pengembangannya ketahanan pangan itu bisa dikembangkan ketahanan pangan maritim.
“Segala hasil laut yang kaya kita miliki, fokuskan jadi Lumbung Pangan Nasional kedua di Indonesia sesuai prediksi jumlah laut kita,” katanya lagi.
Hal ini tidak dipungkiri, Kepulauan Riau meski mengenali lautnya yang amat luas, sumber protein, dan vitamin terbaru di laut itu lebih berharga dan potensial, semua kita punya, tapi mungkin kita lupa atau belum lagi mengarah kesana, karena SDM dan pola pikir kita yang saat ini ke darat.
Disisi Budaya, Prof Abdul Malik yang juga penggerak perjuangan pembentukan Provinsi kepulauan Riau bahkan ikut mengetik naskah pembentukan ini, juga menuturkan banyak hal yang positif dari kejayaan Kerajaan Riau Lingga itu yang selalu menjaga Marwahnya, termasuk laut dan darat.
“Ribuan bahkan puluhan kapal besar disiapkan oleh sultan menjaga negri ini, sehingga Belanda tak berani memasang bendera di daerah segantang lada, saking kuatnya kita dimasa lalu, kalau belum bayar cukai maka kapal tak bisa masuk, penting bagi sultan menjaga marwah melalui kekayaan dan sumberdaya alam kita,” ungkapnya.
Namun setelah kita dapatkan provinsi ini, atas perjuangan dan desakan bersama untuk sejahtera kenapa kita selalu gagal dalam memahami makna provinsi dan Marwah ini.
“Banyak sekali yang tak jalan dan gagal, saya pernah Kepala Dinas Pendidikan dengan dana Rp20 miliar saat itu dapat menggagas UMRAH dan menarik anggaran pusat lebih besar dari APBD, Kenapa perdagangan lintas batas untuk memudahkan anak watan berniaga, dengan konsep Sijori (Singapura, Johor, Riau) akhirnya gagal juga, begitu juga perjuangan labuh jangkar, dan alam kita dikeruk untuk kesejahteraan orang lain, sementara di negeri ini sengsara, salahnya siapa? ini perlu dikaji,” katanya.
Prof Malik juga mengingat bahwa untuk berlari cepat meraih semua Pemerintah Kepri dan Pemda lainnya di bawah provinsi tidak bisa berlari sendiri, meski bersama-sama seperti saat memperjuangkan provinsi ini terbentuk, sehingga masyarakat asli bisa benar-benar merasakan, pembangunan berbasis komunitas itu yang meski dilakukan.
“Selama ini tidak, jalan sendiri sendiri, PDRB tinggi, namun inflasi serta Fiskal rendah, kesenjangan tinggi, sekarang mau tidak berkorban bersama, para pejabat yang merasakan kenikmatan jabatan itu dipotong tunjangan untuk bersama dengan rakyat, dan membenahi ini semua agar provinsi ini tidak mengarah ke provinsi rawan kemiskinan,” katanya.
Belum selesai soal ini kata Malik lagi, Provinsi ini lebih euphoria dengan membangun Jembatan Babin dan Pembentukan Provinsi kepulauan Anambas dan Natuna, ini melukai perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. “Dimana marwah kita,” kesalnya lagi.
Di meja yang sama HM. ALfan Suheiri, menganggap keberadaan Pemprov meskilah mendalami ekonomi yang bisa dibangun dari laut, mulai dari pinggir laut, atas laut dan kedalaman laut yang 12 mil ke darat ini.
“Jika melihat potensi besar ini, maka perlu pengelolaan yang dipimpin oleh pejabat yang piawai membuat terobosan dengan menjaring mitra dan investor agar sector ini digunakan menghasilkan PAD, seperti keberadaan Badan Usaha Pelapuhan (BUP) tak mampu menjalankan fungsinya, gagal,” katanya.
Dasar lain pembangunan daerah mulai tak fokus Ketika adanya isu Jembatan Batam Bintan, yang jelas jelas tak bisa, menghabiskan energi dan uang percuma.
“Bagaimana bisa, Batam itu Kawasan FTZ dan Bintan FTZ Sebagian, apa fungsi jembatan bukankah mubazir, arus barang keluar masuknya saja sudah ngawur, kecuali Bintan didesak jadi Kawasan FTZ nah ini mungkin masuk akal,” urai Alfan.
Sama dengan yang lain, Alfan juga merasa para pelaku usaha dan pengusaha juga ditinggalkan dalam hal kebijakan bahkan mungkin RPJMD kali ini tak sama sekali masukkan dari pihak pengusaha di masukkan.
“Kita akan banyak ketinggalan, ego sentris ini terkadang membuat kemunduran lagi, yang rugi siapa ya masyarakat nelayan, pesisir, semakin sulit untuk berkembang,” tutupnya. (*)
Editor : Martunas