Sebelum UU Kehutanan Direvisi, Anggota DPR-RI Sturman Panjaitan Cari Data ke Kepri

TANJUNGPINANG – Banyak Rancangan Undang-Undang (RUU) dan Revisi Undang-Undang yang masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Tahun 2025 ini.
Salah satunya adalah rencana Revisi Undang-Undang Kehutanan No.19 Tahun 2004 tentang perubahan UU Kehutanan No.41 Tahun 1999. Revisi itu terutama di pasal-pasal paling krusial.
Revisi ini merupakan inisiasi DPR-RI khususnya Komisi IV yang bermitra dengan Kementerian Kehutanan.
Karena itulah, sebelum masa sidang berikutnya dimulai, anggota DPR-RI telah melakukan reses pada 26 Maret-16 April hari ini.
Mereka turun langsung ke berbagai provinsi di Indonesia untuk mendengar, melihat, mencari data secara langsung di lapangan sekaligus menjaring aspirasi dari daerah-daerah.
Salah satu anggota Komisi IV DPR-RI adalah Mayjend (Purn) Sturman Panjaitan dari daerah pemilihan (Dapil) Provinsi Kepri.
Sturman mengatakan, dia dan rekan-rekannya di Komisi IV DPR-RI telah turun ke tiga provinsi di Sumatera selama tiga hari berturut-turut yakni Sumut, Aceh dan Sumsel.
Ketika itu, dirinya sempat meminta data tentang kehutanan di Provinsi Kepri dari pejabat kementerian terkait. Namun tidak ada data spesifik tentang persoalan hutan di Kepri.
Karena itulah, Sturman Panjaitan turun langsung ke Kepri dan menemui Henri selaku Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DLHK) Pemprov Kepri, Senin (14/4/2025) di Kantor Gubernur Kepri di Dompak, Tanjungpinang.
Pada pertemuan singkat saat itu, terungkap ada beberapa persoalan hutan di Kepri terutama di Batam yang perizinannya di Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Segala urusan tanah di Batam dikelola oleh BP Batam sendiri. Pemprov Kepri hanya pengawas saja. Sehingga, DLHK Pemprov Kepri tidak bisa berbuat banyak.
Salah satu tujuan revisi undang-undang ini, kata Sturman adalah untuk kelestarian hutan serta kepastian hukum untuk investasi. Jangan sampai investor telah memiliki lahan, namun tak bisa dikelola karena masalah aturan.

Ia mencontohkan di Batam, banyak pengusaha yang sudah mendapatkan alokasi lahan bahkan sudah membayar UWTO (Uang Wajib) namun tak bisa mengelola lahannya.
Kepastian hukum seperti ini sangat penting bagi investor di kala bangsa ini sangat gencar mencari pemodal untuk memulai usahanya.
“Karena itu perlu ditata ulang. Jangan sampai sudah dialokasikan, tapi tak bisa diapa-apain. Punya tanah, tapi tak bisa diagunkan. Perlu kepastian hukum. Lahan itu peruntukannya harus jelas,” ucapnya.
Karena itulah, dirinya turun ke daerah untuk menampung aspirasi, mendengar langsung dan mencari data. Sehingga menjadi bahan pembahasan ketika mulai membahas revisi undang-undang tersebut di Senayan Jakarta.
Disampaikannya, ada beberapa poin sensitif yang akan mereka bahas terkait perkebunan sawit lahan hutan, konservasi dan wisata.
“Untuk sementara ada 3 opsi untuk hal ini. Opsi pertama, didenda serta lahan yang bukan peruntukannya di daur ulang. Opsi kedua, didenda dan diambil alih pemerintah. Opsi ketiga didenda, diambil alih dan dipidana,” jelasnya.
Hanya saja, dari beberapa opsi ini, DPR-RI masih pesimis seandainya ada lahan perkebunan yang ditarik untuk dikelola.
Pemerintah dikhawatirkan tidak mampu mengelolanya seperti swasta. Bahkan, bisa jadi lahan tersebut malah muncul banyak patok yang dibuat masyarakat.
Dari hasil pertemuan sore hari itu diketahui, Pemprov Kepri pernah mengajukan ke Kementerian Kehutanan RI beberapa tahun lalu untuk mengubah status 23 ribu hektare hutan di Kepri.
Namun yang disetujui saat itu hanya 303 hektare saja. Kesulitan terjadi karena saat itu, untuk mengubah status hutan harus melalui rekomendasi DPR-RI.
Tahun 2023 seiring ditetapkannya Undang-Undang (UU) No.6 Tahun 2023 yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, peraturan itu berubah.
Untuk mengubah status hutan tidak diperlukan lagi rekomendasi anggota-DPR-RI. Hanya saja, silih berganti pemerintahan status hutan yang berganti tetap begitu juga plus perubahan status hutan buru di Barelang Batam yang berganti untuk investasi sekitar 7.000-an hektare.
Sturman mengatakan, semua masukan dan data-data tersebut akan dibawa saat rapat nanti sehingga akan tertera dengan jelas.
Secara geografis, Kepri memang sangat luas. Namun hanya 4 persen saja darat dan 96 persen lautan. Sehingga, luas hutan di Kepri tergolong kecil. Meski demikian, harus tetap jelas peruntukannya agar tidak terjadi sengketa.
Sebab, berdasarkan catatan pemerintah, ribuan sengketa lahan terjadi di Indonesia terutama tentang tanah adat atau tanah ulayat.
Baru-baru ini, anggota Komisi IV DPR RI, Rokhmin Dahuri, menegaskan bahwa revisi kebijakan kehutanan yang komprehensif dan holistik merupakan langkah penting untuk memastikan kelestarian hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (Martunas)
Editor : Abas