Ketika Batam dan Kepri Megah di Atas Kertas

Oleh: Arham
Jurnalis/Anggota PWI Kepri
DERU mesin pabrik, siluet kapal industri melintas di pelabuhan, dan deretan gedung baru menjulang di Batam memberi kesan bahwa ekonomi Kepulauan Riau sedang melesat.
Namun di balik wajah modern itu, ada cerita lain yang lebih sunyi: ribuan warga masih belum punya pekerjaan tetap.
Batam kini seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia menjadi magnet investasi asing dan simbol kemajuan ekonomi wilayah barat Indonesia.
Di sisi lain, banyak masyarakat lokal yang hanya bisa menjadi penonton dalam pertunjukan pertumbuhan itu.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kepri, Rony Widijarto Purubaskoro, dalam sebuah diskusi dengan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kepri, Senin (1/12/2025), menyiratkan fenomena ini sebagai paradoks pembangunan: ekonomi tumbuh pesat, tapi manfaatnya tidak mengalir secara merata.
“Ekonomi bagus kalau inklusif,” ujarnya. “Artinya, semua lapisan masyarakat bisa ikut masuk dalam roda ekonomi yang bergerak cepat.”
Secara angka, Kepri memang tampil memukau. Kepri megah di atas kertas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kepri pada triwulan III tahun 2025 tumbuh 7,48 persen (year on year), tertinggi di Sumatera dan empat besar di Indonesia. Mesin utamanya jelas: Kota Batam, dengan industri pengolahan, perdagangan, dan jasa logistik sebagai penggerak utama.
Namun, di balik statistik itu, muncul persoalan mendasar: pertumbuhan ini tidak dirasakan merata.
Tenaga kerja lokal belum menjadi bagian utama dalam sektor industri yang berorientasi ekspor. Banyak perusahaan di kawasan Free Trade Zone/FTZ justru merekrut tenaga kerja dari luar daerah atau bahkan luar negeri.
Rantai pasok lokal tidak tumbuh signifikan, dan konsumsi masyarakat sekitar industri stagnan.
Pengangguran di Investasi Deras
Paradoks itu tampak jelas dalam angka pengangguran. BPS Kepri mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2025 sebesar 6,2 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang sekitar 5,3 persen. Di Batam, angkanya bahkan mencapai 6,8 persen.
Sebagian besar penganggur adalah lulusan sekolah menengah dan usia produktif muda—kelompok yang seharusnya menjadi tulang punggung industri kota.
Ironisnya, investasi asing yang masuk justru belum menciptakan lapangan kerja berkualitas bagi warga lokal.
Struktur industri yang sangat terintegrasi dengan pasar ekspor membuat banyak keuntungan ekonomi tak berputar di dalam daerah. Uang mengalir keluar lebih cepat daripada ia menetes ke masyarakat setempat.
Dalam teori ekonomi pembangunan, hal ini disebut sebagai “leakage effect” (Todaro & Smith, 2015), yaitu kondisi ketika sebagian besar hasil pertumbuhan ekonomi justru mengalir ke luar wilayah produksi karena minimnya keterkaitan dengan ekonomi lokal.
UMKM Seperti Tersandera
Sementara industri besar menikmati fasilitas bebas pajak dan kemudahan ekspor, para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) justru harus berjuang melawan aturan yang terlalu rumit.
Dalam diskusi dengan BI Kepri dan PWI Kepri, pengusaha UMKM Batam mengeluhkan pungutan cukai tinggi hingga 40 persen ketika ingin mengirim produk ke luar Batam.
Regulasi ini dibuat untuk mengontrol bebasnya barang impor di kawasan pabean, tetapi dampaknya justru menjerat pelaku usaha kecil yang menggunakan bahan lokal. Mereka kesulitan memperluas pasar karena biaya logistik dan cukai yang memberatkan.
Akibatnya, UMKM Batam seperti tersandera, hanya berputar di pasar lokal, dengan margin kecil dan kapasitas produksi terbatas. Padahal, data Bank Indonesia menunjukkan bahwa sektor UMKM menyumbang 61 persen PDB nasional dan menyerap 97 persen tenaga kerja Indonesia (Kemenkop UKM, 2024). Artinya, bila UMKM di Kepri dibiarkan stagnan, ekonomi rakyat pun ikut mandek.
Pentingnya Pertumbuhan Menetes ke Bawah
Untuk mengembalikan arah pembangunan agar lebih berpihak pada masyarakat, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh.
Pertama, memperluas akses kerja bagi warga lokal.
Pemerintah daerah perlu memperkuat pendidikan vokasi dan kemitraan industri agar tenaga kerja lokal memiliki keterampilan sesuai kebutuhan sektor industri.
Kedua, mendorong digitalisasi UMKM. Melalui program seperti QRIS yang digagas Bank Indonesia, pelaku usaha kecil bisa memperluas pasar, mengelola transaksi transparan, dan membangun rekam jejak yang membantu mereka mengakses kredit usaha rakyat (KUR).
Ketiga, menyederhanakan regulasi kepabeanan bagi produk berbahan lokal. Aturan pembebasan cukai perlu disosialisasikan lebih luas dengan proses administrasi yang cepat dan sederhana, agar UMKM Batam bisa bersaing di pasar nasional tanpa terbebani birokrasi rumit.
Keempat, membangun klaster UMKM. Dengan pendekatan klaster, pelaku usaha bisa berbagi sumber daya, jaringan pemasaran, dan memperkuat daya tawar produk lokal Kepri dalam rantai suplai nasional.
Batam dan Kepri bisa menjadi laboratorium kebijakan ekonomi inklusif di Indonesia. Pertumbuhannya yang tinggi adalah modal besar, tapi tanpa pemerataan, angka-angka ekonomi hanya akan menjadi hiasan megah statistik.
Seperti dikemukakan Joseph Stiglitz (2012) dalam “The Price of Inequality,” pertumbuhan tanpa pemerataan tidak hanya menciptakan kesenjangan sosial, tetapi juga berisiko menimbulkan ketidakstabilan ekonomi jangka panjang.
Kini saatnya Kepri menegaskan arah barunya: investasi harus hadir bersama pemberdayaan masyarakat, industri harus tumbuh seiring tumbuhnya UMKM, dan pertumbuhan ekonomi harus menetes ke bawah, bukan hanya mengalir ke puncak.
Pertumbuhan ekonomi yang sejati bukan soal seberapa tinggi angka PDRB, tapi seberapa banyak warga yang bisa tersenyum karena ikut menikmati hasilnya. ***


