BATAM

BWI Batam Gerakkan Kesadaran Wakaf dari Pulau, Belakang Padang Jadi Titik Awal Kebangkitan

BÀTAM, katasiber – Pagi itu, Kantor KUA Belakang Padang tampak lebih sibuk dari biasanya. Di pulau yang kerap dijuluki “Little Singapore”-nya Batam ini, para pengurus masjid dan musholla dari Kelurahan Tanjung Sari dan Sekanak Raya datang satu per satu.

Mereka duduk bersisian, sebagian membawa catatan, sebagian lainnya sekadar ingin mendengar, belajar, dan menambah wawasan tentang sesuatu yang sebenarnya dekat namun belum banyak dipahami: wakaf.

Di tengah ruang yang sederhana namun hangat, Ketua BWI Kota Batam, Buralimar, berdiri membuka diskusi. Suaranya tenang, namun membawa pesan yang besar.

“Wakaf itu bukan hal baru bagi kita. Hampir semua tanah masjid, musholla, bahkan pekuburan, itu tanah wakaf. Potensinya luar biasa besar,” ujarnya, disambut anggukan para peserta.

Belakang Padang mungkin kecil di peta, namun cerita wakafnya panjang. Ka KUA Kecamatan Belakang Padang, H. Abdul Majid, menjelaskan data yang membuat banyak peserta tertegun: dua kelurahan saja—Tanjung Sari dan Sekanak Raya—telah mencatat sedikitnya 49 hektare tanah wakaf.

“Dan itu baru dua kelurahan,” katanya.
Empat kelurahan lainnya—Pecong, Kasu, Pemping, dan Pulau Terong—belum masuk hitungan.

Jika semua ditotal, potensi wakaf di pulau-pulau ini bisa berkembang menjadi aset ekonomi keumatan yang tak ternilai.

Buralimar mengiyakan. Menurutnya, kalau semua aset wakaf di Batam dihitung biasa, jumlahnya bisa mencapai triliunan rupiah. Hanya saja, selama ini data wakaf masih tersebar, tidak terstruktur, dan banyak nazhir yang masa tugasnya bahkan sudah lewat bertahun-tahun.

“Inilah yang ingin kita tata. Kita ingin data wakaf rapi, jelas, dan tercatat. BWI hanya memfasilitasi. Pengelolaan tetap milik nazhir,” jelasnya.

Seiring diskusi berjalan, satu per satu peserta mengangkat persoalan yang mereka hadapi. Ada yang mengeluhkan nazhir yang sudah wafat, ada yang masa tugasnya lebih dari lima tahun, ada pula masjid yang memiliki tanah kosong yang sebenarnya bisa disulap menjadi unit usaha produktif demi pemberdayaan ekonomi jamaah.

Di sinilah suasana menjadi semakin hidup. Para pengurus masjid tak hanya menuntut solusi, tetapi juga menawarkan ide. Ada yang ingin membangun kebun produktif di lahan wakaf, ada pula yang mendorong pembentukan struktur bidang wakaf di setiap kepengurusan takmir.

“Karena masjid itu sendiri adalah harta wakaf. Harus dikelola, harus diberdayakan,” tegas Buralimar.

Ka KUA H. Abdul Majid melihat langkah BWI sebagai peluang besar. Menurutnya, wakaf bukan hanya urusan spiritual, tetapi juga sosial dan ekonomi. Ia berjanji akan bersinergi dengan BWI Batam untuk turun ke pulau-pulau lain, menyosialisasikan wakaf secara lebih intens.

Tak sedikit peserta yang langsung menyambut gagasan itu. Ada optimisme baru yang tumbuh dari ruang pertemuan itu—optimisme bahwa wakaf tidak lagi berhenti sebagai tanah kosong di belakang masjid, tetapi bisa menjadi sumber daya masa depan.

Menyemai Harapan dari Pulau

Menjelang siang, pertemuan ditutup. Namun para peserta tidak tergesa pulang. Mereka berkumpul kecil-kecil, membahas rencana tindak lanjut. Sebagian menghubungi sesama pengurus, sebagian menandai hal-hal yang harus mereka perbaiki di struktur nazhir.

Ada semangat baru di wajah-wajah itu.
Semangat untuk mengelola harta umat secara lebih profesional, lebih efektif, dan lebih memberdayakan.

Di Belakang Padang, sebuah pulau kecil yang sering luput dari riuh kota, BWI Batam baru saja memulai sesuatu: menggerakkan kembali kesadaran wakaf, menyusun ulang harapan, dan menyiapkan sistem agar aset umat tak hanya tercatat tetapi memberi manfaat besar bagi generasi mendatang. (*bs)

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *