Akhmad Munir di Banda Aceh: Wartawan Harus Junjung Kebenaran dan Jauhi Fitnah

BANDA ACEH — Aroma wangi bunga bercampur dengan suara doa dan lantunan selawat menggema di halaman Kantor PWI Aceh, Sabtu (1/11/2025) siang itu.
Sejumlah tokoh pers dari pusat hadir, namun sorotan utama tertuju pada sosok Akhmad Munir, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat yang baru.
Kedatangannya disambut hangat lewat tradisi peusijuk atau tepung tawar — prosesi adat Aceh yang sarat makna penghormatan dan doa keselamatan.
Dalam suasana penuh khidmat itu, Akhmad Munir bersama rombongan tampak tersenyum haru. Ia tidak sekadar tamu, tetapi saudara yang disambut oleh keluarga besar PWI Aceh.
Rangkaian acara terasa semakin bermakna karena bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Bagi Munir, dua momen ini berpadu indah: tradisi dan religiusitas, simbol penguatan silaturahmi antarinsan pers di seluruh Indonesia.
“Kini PWI sudah bersatu kembali. Kami dipercaya menakhodai organisasi ini lima tahun ke depan. Doakan agar amanah ini bisa kami jalankan dengan baik,” ujar Munir dengan nada rendah namun tegas, di hadapan para wartawan dan pengurus PWI Aceh.
Sebagai jurnalis kawakan yang kini juga menjabat Direktur Utama Perum LKBN ANTARA, Munir berbicara bukan hanya soal organisasi, tetapi juga nilai. Ia menekankan pentingnya wartawan untuk menjunjung tinggi kebenaran dan menghindari fitnah dalam setiap karya jurnalistik.
“Meneladani Rasulullah berarti memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Wartawan harus berpegang pada kode etik, tidak berniat buruk, serta selalu tabayun dalam memastikan informasi,” tuturnya, mengaitkan pesan moral dengan profesi yang dijalani.
Di tengah derasnya arus informasi dan tantangan media digital, pesan Munir terasa seperti oase. Ia mengingatkan bahwa berita bukan sekadar produk cepat saji, melainkan buah dari nurani dan tanggung jawab.
Sementara itu, Ketua PWI Aceh Nasir Nurdin menjelaskan, prosesi peusijuk yang dilakukan merupakan bentuk syukur atas terbentuknya kepengurusan baru PWI Pusat periode 2025–2030, yang dikukuhkan di Solo beberapa waktu lalu.
“Tradisi ini bukan hanya penghormatan bagi tamu, tetapi juga wujud syukur kami. Apalagi, tiga dari pengurus PWI Pusat yang hadir kali ini adalah putra Aceh,” ujarnya dengan bangga.
Acara ditutup dengan doa bersama — memohon agar insan pers Indonesia terus diberi kekuatan untuk menjaga marwah profesi, menebar kebaikan, dan menjauhi fitnah.
Dalam suasana penuh haru dan kehangatan itu, semangat persaudaraan terasa nyata: wartawan boleh berbeda pandangan, tetapi satu tujuan – membela kebenaran. (*)


