Jurnalisme Dakwah, Ketika Pena Menjadi Mimbar Kebenaran
PWI Kepri dan STIQ Kepri Satukan Misi Dakwah dan Media

BATAM – Di aula sederhana Sekolah Tinggi Ilmu Quran (STIQ) Kepri, Selasa (28/10/2025), deretan kursi terisi penuh oleh mahasiswa yang antusias.
Mereka datang bukan sekadar untuk mendengar teori jurnalistik, tetapi untuk memahami bagaimana sebuah pena bisa menjadi alat dakwah yang menggetarkan hati.
Seminar bertajuk “Jurnalisme Dakwah” ini mempertemukan dua dunia yang tampak berbeda, namun sejatinya sejiwa: dunia media dan dakwah.
Dua bidang yang sama-sama berjuang menyampaikan kebenaran di tengah riuhnya informasi zaman digital.
Di hadapan peserta, Saibansah Dardani, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Kepulauan Riau sekaligus Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) pertama STIQ Kepri, tampil bukan hanya sebagai narasumber, tapi juga sebagai sosok yang memadukan pengalaman jurnalistik dengan semangat dakwah.
“Jurnalisme sejatinya adalah dakwah dengan pena. Wartawan muslim punya tanggung jawab moral untuk menyebarkan nilai kebaikan melalui tulisan,” ujar Saibansah, kalimatnya disambut tepuk tangan hangat para peserta.
Mengutip Surah An-Nahl ayat 125, Saibansah menekankan pentingnya berdakwah dengan hikmah dan dialog santun. Menurutnya, jurnalisme dan dakwah sama-sama berangkat dari niat untuk menebar kebenaran. Bedanya hanya pada medium: satu di mimbar, satu di halaman berita.
“Di era digital ini, batas antara dakwah dan jurnalisme semakin tipis,” katanya. “Media sosial, portal berita, hingga podcast adalah mimbar baru. Karenanya, dai dan jurnalis harus berjalan beriringan.”
Ia lalu menguraikan lima peran strategis jurnalisme dakwah mulai dari penyebar nilai Islam, penegak amar ma’ruf nahi munkar, hingga pelindung masyarakat dari hoaks dan disinformasi. “Setiap tulisan yang membawa kebaikan bisa menjadi amal jariyah,” ujarnya, dengan nada yang lembut tapi tegas.
Dalam sesi berikutnya, Saibansah menegaskan pentingnya etika dan tanggung jawab moral bagi jurnalis muslim. Nilai ṣidq (jujur), amanah (dapat dipercaya), dan adil (tidak memihak), menurutnya, adalah pondasi yang harus dijaga.
“Undang-Undang Pers memberikan kemerdekaan besar kepada wartawan. Tapi bagi jurnalis muslim, kemerdekaan itu adalah amanah dakwah,” tuturnya.
Bagi Saibansah, jurnalisme bukan hanya profesi, melainkan jalan pengabdian. Dalam setiap paragraf berita, seorang wartawan bisa menjadi penyampai pesan kebenaran — asalkan ia menulis dengan niat yang lurus.
Ketua Dema STIQ Kepri, Qayyum, menyebut tema seminar ini sangat menyatu dengan ruh kampus. Ia bahkan menyampaikan rencana pembentukan pers kampus Islami, sebagai wadah bagi mahasiswa yang ingin menulis sekaligus berdakwah.
“Banyak mahasiswa yang punya semangat menulis dan ingin berdakwah lewat media. Ini awal yang baik untuk melahirkan jurnalis muslim berkarakter,” kata Qayyum.
Kolaborasi antara PWI Kepri dan STIQ Kepri diharapkan menjadi langkah nyata dalam melahirkan generasi jurnalis yang berilmu, berakhlak, dan berintegritas.
Dan ketika seminar berakhir, satu kalimat Saibansah seakan masih menggema di ruang aula itu:
“Dakwah butuh media, dan media butuh nilai dakwah agar tidak kehilangan arah.”
Kalimat yang mengingatkan, bahwa di ujung setiap pena — ada tanggung jawab besar: menyampaikan kebenaran dengan hati. (*/bs)


