TANJUNGPINANG – Para petani tetap turun ke kebun meskipun pandemi Covid-19 melanda Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Ia tidak mengenal
namanya “Work From Home” atau kerja dari rumah, seperti yang dilakukan oleh PNS dan para karyawan.
Para petani tetap ke sawah atau ke kebun untuk memenuhi ketersediaan pangan. Selama manusia hidup di bumi, pangan harus tetap tersedia meski negara dalam kondisi darurat Covid. Penyuluh yang ‘menyatu’ dengan petani tetap produksi menjadi kekuatan utama penyedia pangan. Mereka pahlawan di tengah wabah Corona dan perlu perhatian dari pemerintah.
Sejak Covid, berkebun menjadi tren semenjak Covid-19 berlangsung sejak Maret 2020. Hampir semua orang berkebun untuk mengisi kegiatan di rumah. Bahkan beberapa tanaman menjadi langka karena permintaan yang tinggi.
Dengan langkanya tanamanya tersebut membuat harganya melonjak naik. Tanaman yang ditanam oleh masyarakat pun juga beragam, seperti tanaman hias, sayuran, buah-buahan, dan bumbu dapur. Selain sebagai hiasan dalam rumah, berkebun juga bisa menghemat pengeluaran untuk bahan makanan.
Apalagi jika Mama menanam pohon yang berbuah dan bisa dikonsumsi. Pasti akan sangat menguntungkan walaupun prosesnya lama. Begitupun juga menanam cabai yang bisa digunakan sebagai bahan makanan.
Ketua kelompok tani (Poktan) Harapan Jaya Dompak, Katimun membeberkan, sejak pandemi Covid-19, banyak warga memilih bertani, terutama mereka yang memiliki lahan sendiri.
“Menjaga imum tetap sehat dan jauh dari Covid-19, yang berkebun karena
selain olahraga fisik, juga terkena sinar matahari, menambah kekuatan imum meningkat,” kata Katimun, saat diwawancarai katasiber.id, kemarin.
Kata dia, namun banyak masyarakat yang mencoba menanam cabai misalnya, gagal dalam perjalanan. “Semua masyarakat bisa menanam, terutama menanam cabai. Tapi, apakah yang mereka tanam sampai finis. Artinya, bisa dipanen dengan hasil cukup baik,” ujarnya.
Ia membeberkan, untuk menanam cabai, supaya hasilnya maksimal. Yang perlu diketahui adalah pemilihan bibit atau jenis. Sebab, bila salah pilih bibit, bukan bibit unggul, maka sudah 30 persen kegagalan.
Kemudian, penyemaian. Pada saat penyemaian, bila tidak maksimal atau banyak tidak tumbuh, disebabkan banyak faktor. Diantaranya, karena kekurangan unsur hara, maka petani sudah gagal 60 persen.
Dengan rinciaan gagal memilih bibit dan gagal di penyemain bibit. Lalu, bila saat pengolahaan lahan, tidak sesuai aturan, atau tidak memiliki unsur raha, seperti tidak dikasih pupuk kandang, maka kesuburan tanaman tidak maksimal.
Sebab, kondisi unsur raha tanah umumnya di Tanjungpinang, tidak sama dengan yang ada di Pulau Jawa. “Tak pupuk dasar (kandang) saja di Pulau Jawa, tanaman subur. Kalau ditambah lagi pupuk kandang, tentu semakin sumur. Inilah perbedaan antara lahan di Tanjungpinang dengan di Pulau Jawa,”
ujarnya.
Sambung dia, bila gagal dari pemilihan benih, penyemaian dan gagal di pengelolahan lahan, maka petani itu sudah gagal 60 persen. Tinggal diharapkan 40 persen. Dan, bila saat penanaman dan pemeliharaan cabai gagal, misalnya terkena hama togau, trip, kutu kebul, dengan ciri- ciri tanaman, maka petani itu gagal lagi 30 persen.
Jadi,total gagalan petani, bila memakai bibit asal-asalan, bukan bibit unggul, gagal penyemaian, gagal olah lahan, gagal perawatan, maka kegagal petani sudah 90 persen. “Jadi, hanya ada 10 persen saja yang bisa kita nikmati.
Itupun, kalau harga cabai standar. Kalau tidak, ya bisa tidak balik modal. Ini pentinya, merawat cabai lebih sulit daripada merawat “anak bayi” ujarnya.
Kata dia, selain merawat tanaman dengan baik, yang paling penting adalah tetap bersyukur dan tidak lupa kewajiban sebagai umat yang beragama.
“Kalau sudah kita rawat, sudah kita lakukan yang terbaik, dan kita berdoa, tentu hasilnya juga akan lebih baik,” ujarnya. (sp)